TINJAUAN PUSTAKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PEMALSUAN IJAZAH
GELAR KESARJANAAN
A. Pengertian Pendidikan, Tujuan dan Fungsi Pendidikan
1. Pengertian Pendidikan
Manusia merupakan makhluk dinamis yang bercita-cita meraih
kehidupan yang sejahtera dan bahagia, baik lahiriah maupun batiniah. Salah satu
cara yang ditempuh manusia untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui proses
pendidikan, karena proses pendidikan dilaksanakan
secara bertahap berdasarkan perencanaan yang matang untuk mencapai tujuan atau
cita-cita
tersebut.
Soegarda Poerbakawatja, menyatakan definisi pendidikan sebagai berikut:
“Semua perbuatan dan usaha dari generasi tua
untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya
(orang menamakan ini juga “mengalihkan” kebudayaan dalam bahasa Belanda cultuuroverdracht) kepada generasi muda
sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani
maupun rohani”.[1]
Demikian pentingnya eksistensi pendidikan dalam kehidupan manusia menyebabkan
pendidikan menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi (education as
necessity of life). Seperti halnya kebutuhan akan pangan, jika diilustrasikan
maka tanpa makan manusia secara biologis tidak akan bertahan, dan tanpa ilmu (pendidikan)
secara rohani manusia juga akan sulit bertahan. Dari ilustrasi sederhana
tersebut, yang dimaksud pendidikan di sini bukan hanya pendidikan di bangku
sekolah (dalam arti formal), melainkan mengandung pengertian yang lebih luas
dari pada
artian formalnya.
Noor Syam
menyadur pendapatnya Carter V. Good dalam buku yang berjudul Dictionary of Education
menyebutkan bahwa pendidikan adalah:[2]
a. Proses
Perkembangan Pribadi;
b. Proses
Sosial;
c.
Professional
Courses;
d. Seni
untuk membuat dan memahami ilmu pengetahuan yang tersusun dan diwarisi atau
dikembangkan oleh setiap generasi bangsa.
Berdasarkan
pendapat tersebut pendidikan merupakan
sebuah lembaga dari masyarakat yang beradab, namun tujuan dari pendidikan
tersebut tidak sama dalam semua masyarakat. Sistem pendidikan yang nantinya
menemukan prinsip-prinsip umum dan tujuan akhir serta filosofis dari fungsi
tatanan masyarakat tersebut.
Muhammad
Said Reksodiprodjo yang menyadur pendapat Ki Hajar Dewantara mengenai Pendidikan
Nasional yang menyatakan sebagai berikut:
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang
beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel
national) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat
mengangkat derajat negara dan rakyatnya agar dapat bekerja sama dengan
lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.[3]
Berdasarkan hal tersebut maka proses pendidikan
sebagai proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu
untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta
kelembagaan sosial dari generasi ke generasi, pendidikan
dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan
adat-istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup
masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya, dan demikian
seterusnya demi tercapainya tujuan nasional yang hendak dicapai oleh bangsa
Indonesia .
Sistem
Pendidikan Nasional dalam memberikan definisi Pendidikan sebagai berikut :
Pasal
1 butir 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional yaitu :
Pendidikan adalah sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[4]
Pasal
1 butir 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu:
Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap
terhadap tuntutan perubahan zaman.[5]
Berdasarkan
ketentuan tersebut pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan
diakui oleh masyarakat, hal ini dikarenakan proses pendidikan merupakan amanat
dari Undang-undang dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 31 ayat 1 Undang-undang dasar Negara
republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan sebagai
berikut :
Pasal 31 ayat 1 Undang-undang dasar Negara republik Indonesia
Tahun 1945 menyebutkan sebagai berikut :
menegaskan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta ahlak mulai dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa”. [7]
Pendidikan
Sejati menurut Kartini Kartono adalah:
Upaya yang sistematis untuk pembebasan yang
permanen dari macam-macam keterbelengguan (terbelenggu oleh kemiskinan,
keterbelakangan, kebodohan, kesengsaraan, penindasan dan lain-lain), sehingga
individu bisa menjadi :[8]
a.
Pribadi yang memiliki kesadaran diri, tahu
akan martabat dan penentuan tempatnya (plaatsbepaling,
tahu unggah-ungguh fungsi dan tugas kewajibannya);
b.
Bertanggung jawab susila, mampu mandiri;
ringkasnya bisa menjadi manusia utuh.
Dalam hal ini,
pendidikan lebih ditekankan pada tujuannya untuk memerdekakan manusia dari
berbagai macam keterbelengguan baik terbelenggu oleh kemiskinan,
keterbelakangan, kebodohan, kesengsaraan, penindasan dan lain-lain yang
bersifat mengekang kebebasan manusia menjadi manusia seutuhnya.
2.
Tujuan
Pendidikan
Setiap keberhasilan diawali
dari kejelasan dan ketegasan dari tujuan yang hendak dicapai. Sebagai landasan
filosofis dari suatu kegiatan, masalah
tujuan pendidikan adalah masalah
norma. Masalah norma adalah masalah filsafat, khususnya filsafat tentang
hakekat manusia, dan kedudukan manusia di tengah dunianya dengan segenap
harapan-harapannya, baik harapan yang sekuler
(das sein) maupun yang
keakhiratan (nachweltliches sein).
Kartini Kartono memberikan tujuan
pendidikan sebagaimana dimaksud di atas sebagai berikut:
Bahwa masalah tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam Pendidikan.
Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan, perbuatan mendidik dapat
sesat, atau kabur tanpa arah. Karena itu perumusan secara tegas tujuan
pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan teoretis-pedagogis dan
perenungan filsafati. Sebab di dalam tujuan setiap bentuk pendidikan, secara
implisit dan eksplisit terkandung pandangan hidup atau lebensanschauung serta filsafat hidup pendidiknya dan lembaga
yang mendidik atau negara.[9]
Penjelasan
lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan ini Kartini Kartono mengatakan pada
intinya bahwa
tujuan proses pendidikan dalam dunia yang dinamis dan relativistis, tidak dapat
dijumpai di luar pendidikan, melainkan dijumpai di dalam proses itu sendiri. Proses
pertumbuhan inilah yang menjadi tujuan akhir. Pertumbuhan ini menjadi satu
tujuan; hal tersebut tidak dibawahi oleh apa pun juga, kecuali dibawahi oleh
pertumbuhan selanjutnya.
Muhammad Said
Reksohadiprodjo berpendapat mengeni tujuan pendidikan sebagai berikut :
Bahwa pendidikan
mempersiapkan generasi muda untuk tujuan pembinaan integre dan tepat guna dari masyarakat dan kebudayaan Indonesia
yang berkepribadian Nasional yang baik dan luhur berdasarkan Pancasila. Integre di sini bermakna pendidikan hendaknya
mengusahakan agar orang dapat membina dan mengembangkan dirinya menjadi manusia
yang “Mandireng
Pribadi”, merasa bertanggung jawab atas terwujudnya makna eksistensi
sebagai satusatunya makhluk Tuhan yang berbudi luhur.[10]
Berdasarkan tujuan di atas, tujuan
pendidikan diarahkan untuk menjadikan manusia sebagai pribadi yang berbudi
luhur yang dapat membina dirinya menjadi manusia bertanggungjawab.
Plato dalam bukunya yang
klasik Republik berkata :
“Tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan negara. Karena itu
Pendidikan dan politik tidak bisa dipisah-pisahkan. Selanjutnya sarana untuk
mencapai masyarakat adil dan bahagia (kebahagiaan setingi-tingginya bagi jumlah
orang sebanyak-banyaknya) ialah pendidikan.[11]
Berdasarkan beberapa
pendapat mengenai tujuan pendidikan di atas, dapat disimpulkan pada dasarnya
pendidikan dan pengajaran bertujuan untuk membentuk manusia yang cakap, memiliki moralitas dan integritas
terhadap pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat bersikap demokratis serta bertanggung
jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Negara Indonesia
merumuskan tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
sebagai berikut:
Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
:
“Pendidikan Nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.[12]
3.
Funsi
Pendidikan
Dalam membahas fungsi pendidikan ini akan difokuskan pada tiga
fungsi pokok dari pendidikan, yakni :
Pendidikan sebagai penegak nilai,
pendidikan sebagai sarana pengembang masyarakat, dan pendidikan sebagai upaya
pengembangan potensi manusia. Penjelasan dari tiga fungsi pendidikan adalah
sebagai berikut :[13]
Pendidikan sebagai penegak nilai Pendidikan mempunyai peran yang amat penting dalam
kaitan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pendidikan merupakan
penegak nilai dalam masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa pendidikan
memelihara serta menjaga tetap lestarinya nilai-nilai tersebut dalam
masyarrakat. Untuk memelihara dan menjaga nilai-nilai ini dengan sendirinya
dunia pendidikan harus selektif sehingga tidak menimbulkan gejolak dalam
masyarakat. Masyarakat dapa melaksanakan kehidupannya secara tenang sesuai
dengan keyakinan masing-masing. Dengan demikian nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat tetap menjadi landasan bagi setiap anggota masyarakat.
Pendidikan sebagai sarana pengembang masyarakat Pendidikan
dalam suatu masyarakat akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
masyarakat yang bersangkutan. Kiprah pendidikan tersebut sangat tergantung pada
seberapa aktif dan kreatif para pendidik dalam masyarakat tersebut. Dalam hal
ini biasanya para tokoh masyarakat, para guru dan para pendidik lain merupakan
motor penggerak serta kemajuan masyarakat yang bersangkutan.
Pendidikan sebagai upaya pengembangan
potensi manusia Melalui pendidikan, diharapkan dalam potensi dalam diri individu akan
lebih berkembang. Sehingga dengan hal ini perkembangan dalam masyarakat akan
terus mengarah yang lebih baik dan tercipta generasi-generasi penerus yang
lebih handal. Pengembangan kemampuan anggota masyarakat dalam menyiapkan
generasi penerus merupakan tugas dan fungsi pendidikan yang paling menonjol.
Menurut Fuad Ihsan sebagai berikut :
“fungsi pendidikan dalam arti mikro ialah
membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik.
Sedangkan fungsi pendidikan secara makro adalah sebagai alat : pengembangan
pribadi, pengembangan warga Negara, pengembangan kebudayaan, pengembangan
bangsa”. [14]
Hal tersebut menjelaskan bahwa
pendidikan memiliki dua fungsi yaitu secara mikro dan fungsi secara makro. Dari
kedua fungsi pendidikan tersebut, kita dapat menarik hubungan bahwa pendidikan
mengembangkan potensi pribadi yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan
bangsa sebagai kumpulan pribadi-pribadi tersebut.
Negara Indonesia
merumuskan fungsi Pendidikan Nasional dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
sebagai berikut:[15]
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
B.
Hukum Pidana,
Asas- Asas Hukum Pidana, Pengertian Tindak Pidana Dan Unsur- Unsurnya
1.
Hukum Pidana
Hukum pidana menurut Mr.
W.F.C. van Hattum merumuskan sebagai berikut:[16]
“Het smenstel van de beginselen en regelen, welke
de staat of eenige andere penbare rechtsgemeeschap volgt, in zoover hij als
handhaver der openbare rechtsorde, onrecht verbiedt en aan zijner voorschriften
voor den overtreder een bijzonder leed als strafverbindt”.
Yang artinya : “suatu keseluruhan dari asas- asas dan peraturan- peraturan
yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana
mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang
dilakukannya tindakan- tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah
mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan- peraturannya dengan suatu
penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman”.
Hukum Pidana menurut Utrech
mengikuti pendapat van Kan sebagai berikut :
“Merupakan hukum sanksi istimewa atas pelanggaran kaidah hukum publik
maupun pelanggaran atas hukum privat yang telah ada. Hukum pidana melindungi
baik kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan hukum publik maupun
kepentingan yang diselenggarakan oleh kepentingan hukum privat”.[17]
Hal yang membedakan hukum
pidana dari hukum lain ialah sanksi yang berupa pidana yang diancamkan terhadap
pelanggaran normanya. Sanksi dalam hukum pidana ini adalah sanksi yang negatif.
Sifat dari sanksi pidana itu sendiri adalah baru diterapkan apabila sarana (upaya)
lain sudah tidak memadai, maka dari itu hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi
subsidair.
Kemudian Soedarto
berpendapat sebagai berikut :
Sifat pidana disebut juga sebagai ultimum remedium (obat yang
terakhir), artinya apabila tidak perlu hendaknya jangan menggunakan pidana
sebagai sarana.[18]
Keberadaan pidana tidak dapat dihindarkan
dalam masyarakat. Walaupun harus diakui bahwa pemidanaan memang merupakan alat
pertahanan terakhir.
Menurut Roeslan Saleh
berpendapat sebagai berikut:
Keberadaan pemidanaan merupakan akhir dan puncak
dari keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan
tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat.[19]
Menurut Sholehuddin
berpendapat sebagai berikut :
Pada tataran ide dasar, antara sanksi pidana dan tindakan memiliki
perbedaan fundamental. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap
suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut.[20]
2.
Asas- Asas
Hukum Pidana
a.
Asas
Legalitas
Mengenai
rumusan Asas legalitas ini, lamintang menulisnya sebagai berikut :
“Pasal 1 ayat 1 KUHP dalam bahasa Belanda adalah “Gee
Feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke
strafbepaling”. Atinya; tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali
berdasarkan ketentuan pidana menurut undang- undang yang telah ada terlebih
dahulu dari perbuatan itu sendiri”.[21]
Biasanya
asas legalitas ini mengandung tiga pengertian sebagaimana yang dikatakan oleh
Moelyatno sebagai berikut :[22]
(1)
Tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang- undang;
(2)
Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;
(3)
Aturan-
aturan pidana tidak berlaku surut.
Tujuan dari adanya
legalitas ini menurut Simons yang disadur oleh Lamintang adalah sebagai berikut
:
Peraturan ini dapat dipandang sebagai suatu
pengakuan terhadap adanya suatu kepastian hukum bagi pribadi- pribadi yang
harus dijamin, yaitu sejauh peraturan tersebut mensyaratkan bahwa peraturan
yang bersifat mengharuskan atau yang bersifat melarang itu harus ada terlebih
dahulu dan sejauh itu mensyaratkan bahwa ancaman hukuman harus telah ada dahulu
dari perbuatannya itu sendiri”.[23]
Lamintang juga menyadur
pendapatnya Pompe tentang tujuan dari asas legalitas ini sebagai berikut :
“Tujuan peraturan yang pertama itu
adalah tetap, yaitu memahami kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan
dari penguasa”.[24]
Dari beberapa
pendapat diatas maka penulis sepakat bahwa keberadaan asas legalitas sangatlah
diperlukan untuk menegakkan hukum dengan baik, sekalipun dalam masyarakat masih
banyak ketentuan hukum yang lain yang berlaku misalnya hukum adat namun untuk
melindungi kepentingan individu- individu dari penguasa negara maka keberadaan
asas ini sangat diperlukan.
b.
Asas Praduga
Tidak Bersalah / Asas presumption of innoncence
Asas ini
sebenarnya diambil dari undang- undang nomor 14 tahun 1970 dan terdapat juga
dalam penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang isinya :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,
dituntut dan atau dihadapkan dimuka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
hukum tetap”.[25]
c.
Asas untuk memperoleh
bantuan hukum (Legal Aids)
Asas ini
terdapat juga dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP yang isinya :
“Setiap orang yang tersangkut perkara
wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata- mata diberikan
untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.[26]
d.
Asas Equality
Before The Law
Asas ini
merupakan bentuk dari pelaksanaan supremasi hukum dengan tidak adanya perbedaan
antara yang satu dengan yang lainnya, namun semua dianggap sama.
Dalam
penjelasan umum KUHAP angka 3 huruf a tentang azas ini dikatakan sebagai
berikut :
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka
hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan”.[27]
e.
Asas Ne Bis
In Idem
Asas ne
bis en idem ini adalah merupakan asas hukum pidana yang menyatakan bahwa
seseorang tidak dapat dituntut untuk keduan kalinya dalam perkara yang sama
yang telah memiliki ketentuan hukum yang tetap. Akan tetapi dalam asas ini
mengandung beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dikatakan ne bis in idem.
Van Bemmelen mengatakan
mengenai syarat tersebut adalah sebagai berikut :
“syarat bahwa suatu perbuatan itu dapat dikatakan
sesuai dengan ne bis in idem, perbuatan tersebut haruslah tidak dilakukan pada
waktu yang berbeda dan tidak dipisahkan oleh beberapa perbuatan atau tindakan
yang lain”.[28]
3.
Pengertian
Tindak Pidana
Tindak pidana atau yang
dikenal juga dengan sebutan perbuatan pidana merupakan sebuah istilah yuridis
yang menggambarkan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh suatu aturan
hukum. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi tindak pidana sebagai suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.[29]
Sedangkan R. Soesilo
mendefinisikan tindak pidana sebagai berikut:
“Sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau
diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang
melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana.”[30]
Kemudian Simons memberikan
defenisi tentang tindak pidana dalam bukunya P.A.F. Lamintang sebagai berikut :[31]
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya
dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum”.
Moelyatno memberikan
defenisi dari perbuatan pidana sebagai berikut :[32]
“Perbuatan pidana adalah merupakan perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut”.
4.
Unsur- Unsur
Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan
suatu perbuatan yang tidak diperkenankan oleh undang-undang, dan karenanya
dapat dikenakan pidana apabila dilanggar. Dalam konteks yang sederhana, tindak
pidana mensyaratkan 3 (tiga) unsur yang oleh Sauer disebut dengan Trias dalam
hukum pidana, yaitu: sifat melawan hukumnya perbuatan, kesalahan dan pidana.[33]
Moeljatno juga
mensyaratkan 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi perbuatan pidana, yaitu:[34]
1. Adanya perbuatan (manusia);
2. Memenuhi rumusan Undang-undang;
3. Bersifat melawan hukum.
R. Soesilo memberikan
pendapat mengenai unsur- unsur tindak pidana adalah :[35]
a. Adanya perbuatan manusia;
b. Perbuatan tersebut diatur dalam ketentuan hukum
c. Adanya kesalahan
d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan
Dalam konteks yang lebih
luas, unsur-unsur tindak pidana umumnya terdiri atas:[36]
a. Perbuatan manusia (positif
atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b. Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
c.
Melawan hukum (onrechtmatig);
d.
Dilakukan dengan kesalahan (met
schuld in verband staand);
e.
Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon).
1. Memenuhi Rumusan
Undang-undang
Artinya, perbuatan
tersebut harus sesuai dengan rumusan undang-undang yang relevan. Hal ini
merupakan syarat formil yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi dari asas
fundamental hukum pidana yaitu: asas legalitas. Asas legalitas yang termuat
dalam adagium yang berbunyi : nullum
delictum noella poena sine
previa legi noella poenali, yang artinya tiada satu perbuatan dapat
dikenai pidana, kecuali telah diatur sebelumnya dalam peraturan perundang-undangan.
Mengingat demikian
pentingnya asas legalitas ini, KUHP meletakkan asas ini dalam Pasal 1 ayat (1),
yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, melainkan atas
kekuatan ketentuan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum
perbuatan tersebut terjadi”.
Moeljatno mengartikan asas
legalitas ini dengan 3 (tiga) pengertian, yaitu:[37]
a. Tidak ada perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum
dinyatakan dalam suatu aturan Undang-undang.
b. Untuk menentukan adanya
perbuatan pidana tidak boleh dilakukan analogi (kiyas).
1. Sifat
Melawan Hukum Perbuatan (onrechtmatig)
Aturan- aturan hukum tidak
berlaku surut (retroaktif). Artinya, bertentangan dengan hukum. Sifat melawan
hukum perbuatan (onrechtmatig) ini merupakan syarat materil dari tindak pidana.
Menurut Schaffmeister dalam dogmatik hukum pidana terdapat empat makna “sifat
melawan hukum” yang berbeda-beda, yang
masing-masing dinamakan sama, yakni:[38]
a. Sifat melawan hukum umum
Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam
rumusan pengertian perbuatan pidana.
b. Sifat melawan hukum khusus
Diartikan , sebagai sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari
rumusan delik.
c. Sifat melawan hukum formil
Artinya, telah memenuhi semua syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan.
d. Sifat melawan hukum materil
Artinya, melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak
dilindungi oleh pembentuk Undang-undang dalam rumusan delik tertentu.
Asas “sifat melawan hukum
materiel” menurut Teguh Prasetyo adalah sebagai berikut :
“Prinsip yang menyatakan bahwa di samping memenuhi
syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu
juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak
patut atau tercela”.[39]
Menurut Barda Nawawi Arief
berpendapat sifat melawan hukum sebagai berikut,
Sifat melawan hukum materiel identik dengan melawan/bertentangan dengan
hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/the living law), bertentangan dengan asas-asas
kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan sosial dalam masyarakat
(termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi, hukum tidak dimaknai
sebagai wet, tetapi dimaknai
secara materiel sebagai “recht”.
Oleh karena itu sifat melawan hukum materiel identik dengan “onrechtmatige daad”.[40]
Sifat melawan hukum materil
ini dibedakan berdasarkan fungsinya, yakni:[41]
a. fungsinya yang negatif;
Artinya sumber hukum materiel (hal-hal/kriteria/norma di luar undang-undang)
dapat digunakan sebagai alasan untuk meniadakan/menghapuskan (menegatifkan)
sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Jadi tidak adanya sifat melawan hukum
materiel dapat digunakan sebagai alasan pembenar.
b. fungsinya yang positif.
Artinya sumber hukum materiel (hal hal/kriteria/norma/undang-undang) dapat
digunakan untuk menyatakan (mempositifkan) bahwa suatu perbuatan tetap dapat
dipandang sebagai tindak pidana (perbuatan melawan hukum) walaupun menurut
Undang-undang tidak merupakan tindak pidana.
Dalam praktek perkembangan
hukum pidana, terdapat perbuatan-perbuatan yang hilang sifat melawan hukumnya
atas dasar alasan pembenaran yang tidak mungkin ditemukan dalam undang-undang
(tertulis) yang ada. Alasan-alasan penghapus pidana di luar undang-undang ini
diterima oleh hakim berdasarkan ungkapan kasus di pengadilan maupun pandangan
ahli hukum pidana (doktrin) yang terus berkembang, berupa:[42]
a. Tuchtrecht
Yaitu, hak mengawasi dan mendidik dari orang tua, wali, guru terhadap
anak-anak mereka dan murid-muridnya dimana dalam batasbatas tertentu berhak
merampas kebebasan anak-anak yang belum dewasa atau murid-muridnya.
b. Beroepsrecht
Yaitu, hak jabatan para dokter (juru obat, bidan) yang melakukan tindakan
medis semisal operasi melalui pembedahan pada pasien dikarenakan suatu alasan
medis tertentu sehingga menghilangkan sifat melawan hukumnya.
c. Toestemming
Yaitu, ijin dari orang yang merasa dirugikan akan hilang sifat melawan hukumnya.
Misalnya pemukulan dalam olah raga tinju.
W. van Veen memberikan istilah “facet Wederrechtelijkheid” yang menyatakan:[43]
Bahwa hapusnya sifat melawan hukum atas dasar alasan pembenar hanya sebagai
pengecualian yang jarang sekali. Hakim hanya boleh melakukan ini, jika ia berpendapat
bahwa kalau pembuat undang-undang sendiri menghadapi persoalan ini sudah pasti
akan dibuatnya kekecualian, atau jika hakim itu berpendapat bahwa terdakwa
dengan perbuatannya berkehendak untuk mencapai tujuan yang oleh setiap orang
dipandang sebagai suatu “tujuan yang
baik”, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dikesampingkannya
kepentingan pembuat undang-undang yang membuat peraturan pidana dengan tujuan memberikan
perlindungan.
Menurut Langmeyer dan J.M.
van Bemmelen yang mengambil alih dari “Sigaretten”
arrest Hoge Raad tanggal 16 Oktober 1949 berpendapat:[44]
Bahwa diterimanya alasan pembenar yang meniadakan sifat melawan hukum
materiel suatu perbuatan jika suatu tingkah laku yang termasuk dalam rumusan
delik, dipandang dari sudut tata hukum, menghasilkan keuntungan yang demikian rupa dapat dirasakan, sehingga keuntungan ini lebih dari cukup seimbang
dengan kerugian yang disebabkan
oleh tindakan yang bertentangan dengan undang-undang.
Dari kedua pendapat di
atas dapat disimpulkan bahwa keuntungan yang ternyata jauh melebihi cukup
seimbang antara perbuatan yang memenuhi rumusan delik dengan kerugian akibat
adanya pelanggaran delik, yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya.
Dalam suatu disertasi
doktoral di Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 22 Maret 1994,
Komariah Emong Sapardjaja memberikan kriteria yang merupakan gabungan pendapat Langmeyer
dan J.M. van Bemmelen serta putusan Mahkamah Agung untuk menghilangkan sifat
melawan hukum materiel, yaitu harus dilihat apakah perbuatan terdakwa:[45]
1. mempunyai tujuan nyata
yang memberikan manfaat terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh
pembuat undang- undang;
2. melindungi suatu
kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan hukum yang
dituju oleh perumusan tindak pidana yang dilanggarnya;
3. mempunyai nilai yang lebih
besar bagi kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri.
3. Kesalahan
Kesalahan merupakan
jantung dari hukum pidana. Demikian pentingnya unsur kesalahan sehingga
eksistensinya diletakkan sebagai salah satu syarat subjektif untuk dapat
dipidananya seseorang. Artinya, sebelum adanya pemidanaan harus dibuktikan
terlebih dahulu adanya kesalahan pada diri si pembuat. Berkenaan dengan
kesalahan ini, Sudarto berpendapat bahwa:[46]
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undangundang dan tidak
dibenarkan (an objective breach of a
penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang
melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan
lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, atau
jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan
kepada orang itu”.
Selanjutnya dikemukakan oleh Sudarto, bahwa:[47]
“Untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana),
orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat
melawan hukum. Jika tidak ada, artinya kalau perbuatannya tidak melawan hukum
maka, maka tidak ada perlunya untuk menetapkan kesalahan si pembuat.
Sebaliknya, seorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan
sendirinya mempunyai kesalahan”.
Adanya kesalahan
mengandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid)
si pembuat atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam hal ini berlaku asas “Tiada Pidana
tanpa Kesalahan” (keine straf ohne
schuld atau geen straf zonder schuld
atau nulla poena sine culpa).[48]
Terdapat 2 (dua) bentuk
kesalahan dalam pengertian yuridis, yakni:
a.
Kesengajaan (dolus, opzet, vorsatz
atau intention)
Dalam Memorie van Toechlichting
(MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang,
dengan dikehendaki dan diketahui. Menurut Moeljatno, kesengajaan merupakan
tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan.[49]
Merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa
kesengajaan , akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi kebetulan. Dalam
kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama
sekali tidak menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya. Moeljatno
mengatakan bahwa kealpaan merupakan kekurangan perhatian pelaku terhadap objek
dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang. Antara
kesengajaan dengan kealpaan sebenarnya hanya berbeda gradasi saja.
C. Kebijakan Hukum Pidana
(Penal Policy)
1. Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan dengan Menggunakan Pidana
Fenomena kejahatan sebagai salah satu bentuk
dari “perilaku menyimpang” selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.
Menurut Benedict S. Alper kejahatan merupakan the oldest sosial problem.[51]
Sebagai bentuk masalah sosial bahkan masalah kemanusiaan maka kejahatan perlu
segera ditanggulangi. Upaya penanggulangan kejahatan atau biasa disebut sebagai
kebijakan kriminal.
Menurut Marc Ancel kebijakan kriminal (criminal policy) adalah sebgai berikut :
“Suatu usaha yang rasional dari
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.[52]
Secara garis besar kebijakan kriminal ini dapat
ditempuh melalui dua cara yaitu :[53]
1.
Upaya
Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada
upaya – upaya yang sifatnya repressive
(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahat terjadi;
2.
Upaya
Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan
pada upaya-upaya yang sifatnya preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian)
sebelum kejahatan tersebut terjadi. Sasaran utama dari kejahatan ini adalah
menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.
G.P. Hoefnagels menggambarkan ruang lingkup
upaya penanggulangan kejahatan (criminal
policy) sebagai berikut :[54]
a. penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan;
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa (influencing
view society on crime and punishment/ mass media).
Berdasarkan ruang lingkup kebijakan kriminal di
atas, penerapan hukum pidana (criminal
law application) merupakan salah satu upaya penanggulangan kejahatan.
Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana sebenarnya bukan sebuah
metode yang baru, melainkan cara yang paling tua, setua peradaban manusia
sendiri. Bahkan, ada yang secara ekstrem meyebutkan sebagai “older philosophy of crime control”.[55]
Upaya penanggulangan
kejahatan perlu ditempuh dengan pedekatan kebijakan. Artinya, terdapat
keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial,
sekaligus terdapat keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan
kejahatan dengan “penal” dan “non-penal”.[56]
2. Pengertian dan Ruang
Lingkup Kebijakan Hukum Pidana
Kebijakan atau dalam bahasa Inggris dikenal
dengan istilah policy dan dalam
bahasa Belanda dikenal dengan istilah politiek
pada hakekatnya merupakan masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai
macam alternatif. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah:[57]
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2.
Kebijakan
dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa
yang dicita-citakan;
Berdasarkan pemikiran di atas, selanjutnya
Sudarto menyatakan sebagai berikut:
bahwa kebijakan atau politik hukum pidana (penal policy) adalah usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.[58]
Pengertian yang demikian nampak juga dalam
definisi yang dikemukakan oleh Marc Ancel sebagau berikut :
bahwa penal policy adalah suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan
pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang dan juga kepada pengadilan
yang menerapkan undangundang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana
keputusan.[59]
A.Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum
pidana (strafrechtspolitiek)
merupakan garis kebijakan untuk menentukan:[60]
a. seberapa jauh
ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya
tindak pidana;
c. cara bagaimana
penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Dari beberapa pengertian di atas, Barda Nawawi
Arief menyimpulkan sebagai berikut :
bahwa politik
hukum pidana identik dengan pengertian “Kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana”. Dilihat dalam arti luas, ruang lingkup kebijakan hukum
pidana mencakup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum
formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.
[61]
Sebagai upaya penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana, kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan
hukum (law enforcement policy), khususnya penegakan
hukum pidana, dan juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat (sosial defence)
serta usaha untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare).[62]
Dalam hal ini Sudarto mengemukakan penggunaan hukum pidana sebagai upaya
penanggulangan kejahatan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik
kriminal atau sosial defence planning”
yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. [63]
Hermann Mannheim mengemukakan bahwa dalam hukum
pidana terdapat dua masalah utama yang dihadapi, yaitu:[64]
a. penentuan pandangan tentang nilai-nilai
terpentingnya (the most important
values) manakah yang ada pada masa pembangunan ini;
b.
penentuan
apakah nilai-nilai itu diserahkan untuk dipertahankan oleh hukum pidana ataukah
diserahkan pada usaha-usaha lain untuk mempertahankannya.
Dalam kebijakan hukum pidana terdapat dua
masalah sentral yang harus ditentukan, yaitu:[65]
a.
Perbuatan apa
yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
b.
Sanksi apa
yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Masalah sentral yang pertama umumnya disebut
sebagai proses kriminalisasi, sedangkan masalah yang kedua dikenal dengan
proses penalisasi. Adapun alasan kriminalisasi pada umumnya meliputi :[66]
1.
Adanya
korban;
artinya,
perbuatan tersebut harus menimbulkan seseuatu yang buruk atau menimbulkan
kerugian.
2. Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk
pembalasan;
3.
Harus
berdasarkan asas ratio principle,
dan
4.
Adanya
kesepakatan sosial ( public support)
Berdasarkan pendekatan yang
berorientasi pada kebijakan sosial, maka Sudarto berpendapat dalam menghadapi
masalah sentral yang pertama di atas, harus diperhatikan hal-hal yang pada
intinya :[67]
a.
Penggunaan
hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan
masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan
pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan
itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
b.
Perbuatan
yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus
merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan
kerugian (materiil dan atau spirituiil) atas warga masyarakat; Penggunaan hukum
pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”. (cost-benefit principle);
c.
Penggunaan
hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari
badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting
Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin
dicapai oleh hukum pidana umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial
yang mengandung nilai tertentu yang perlu dilindungi. Adapun kepentingan-kepentingan
sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut:[68]
a.
pemeliharaan
tertib masyarakat;
b.
perlindungan
warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya yang tak dapat
dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
c.
memasyarakatkan
kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
d.
memelihara
atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai
keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.
Ditegaskan selanjutnya oleh Bassiouni, bahwa:
Sanksi pidana
harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan
kepentingan-kepentingan tersebut. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan
yang berguna bagi masyarakat ; pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat
dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Batas-batas sanksi pidana ditetapkan
pula berdasarkan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang mewujudkannya.
Jadi dalam hal ini, disiplin hukum pidana bukan hanyapragmatis tetapi juga
berdasarkan dan berorientasi pada nilai (not
only pragmatic but also value-based
and value – oriented).[69]
Dalam hal kriminalisasi dan dekriminalisasi,
Bassiouni berpendapat harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu
yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor sebagai berikut :[70]
a.
keseimbangan
sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin
dicapai;
b.
analisis
biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan
tujuan-tujuan yang dicari;
c.
penilaian
atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas
lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
d.
pengaruh
sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau
dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.
Selanjutnya,
dikemukakan oleh Bassiouni sebagai berikut :
bahwa pendekatan yang berorientasi pada kebijakan akan
memunculkan permasalahan, yakni berkenaan dengan pengambilan keputusan yang
tidak mengakomodir faktor nilai-nilai yang merupakan faktor subjektif, sehingga
keputusan yang diambil cenderung akan pragmatis dan kuantitatif.[71]
Masih menurut
Bassiouni, dikemukakan :
bahwa penilaian
emosional seyogyanya oleh badan-badan legislatif dijadikan pertimbangan utama
dalam pengambilan keputusan tersebut (the
emotionally laden value judgment approach), Sedangkan, pendekatan
kebijakan dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device digunakan
sebagai alternatif . Hal ini digunakan untuk menghindari proses kriminalisasi
yang berlebihan, yang dapat menimbulkan:[72]
a.
krisis
kelebihan kriminalisasi (the crisis of
over-criminalization), dan
b.
krisis
kelampauan batas dari hukum pidana (the
crisis of overreach of the criminal law).
Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya over-criminalization jika proses kriminalisasi
berjalan terus-menerus, maka prinsip-prinsip model law yang dibuat oleh organization for economic co-operation and development (OECD)
dapat dijadikan pedoman untuk menghindarkan under and overcriminalization, yakni sebagai berikut:[73]
1.
ultima ratio principle
Hukum pidana
disiapkan sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas, meskipun pada
kenyataannya dewasa ini dunia internasional mulai mengarahkan hukum pidana
sebagai premium remedium,
khususnya pidana denda yang sekaligus dapat digunakan sebagai dana bagi
pembangunan di suatu Negara.
2.
precision principle
Ketentuan hukum
pidana harus tepat dan teliti menggambarkan suatu tindak pidana. Perumusan
hukum pidana yang bersifat samar dan umum harus dihindari.
3.
clearness principle
Tindakan yang
dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana.
4.
principle of differentiation
Adanya kejelasan
perbedaan ketentuan yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini perlu dihindari
perumusan yang bersifat global/terlalu luas, multipurpose atau all
embracing.
5.
principle of intent
Tindakan yang
dikriminalisasikan harus dengan dolus (intention),
sedangkan untuk tindakan culpa (negligence) harus dinyatakan dengan
syarat khusus untuk memberikan pembenaran kriminalisasinya.
6.
principle of victim application
Penyelesaian
perkara pidana harus memperhatikan permintaan atau kehendak korban. Dalam hal
ini kepentingan korban harus diatur dalam rangka pidana dan pemidanaan.
Dionysios D. Spinellis, Guru Besar Hukum Pidana
dan Kriminologi dari Universitas Athena, Yunani mengemukakan pendapatnya
mengenai proses penalisasi atau kriminalisasi suatu perbuatan, yaitu sebagai
berikut:[74]
1.
Hukum
pidana harus benar-benar terbatas pada tindakan-tindakan serius yang
membahayakan kondisi-kondisi kehidupan bersama manusia di masyarakat. Hukum
pidana harus memberikan lebih banyak usaha dalam menyelidiki secara seksama
kasus-kasus tersebut, sekaligus menjamin hak terdakwa dan hak-hak korban.
2.
Dalam
proses pemidanaan banyak pelanggaran kecil yang semestinya dikenakan pada sebuah
sistem sanksi administratif, tetapi karena sistem tersebut akan menimbulkan
tindakan sewenang-wenang terhadap individu, maka perlu dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a.
Pelanggaran-pelanggaran
harus digambarkan secara tepat dalam hukum;
b.
Sanksi-sanksi
harus ditetapkan setepat mungkin;
c.
Para
pegawai Negara yang menerapkan sanksi-sanksi tersebut harus cukup mendidik;
d.
Sebuah
prosedur yang tepat dan sederhana harus ditetapkan;
e.
Naik
banding atau jalan lain di hadapan pengadilan adalah sebuah kondisi yang sangat
diperlukan.
Menurut Muladi terdapat 3 (tiga) metode
pendekatan dalam kebijakan kriminalisasi
dan penalisasi, yaitu:[75]
a. Metode Evolusioner (evolutionary approach)
Metode ini
memberikan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan-peraturan yang
sudah ada sebelumnya.
b. Metode Global (global approach)
Metode ini
dilakukan dengan membuat peraturan tersendiri di luar KUHP.
c. Metode Kompromis (compromise approach)
Metode ini
dilakukan dengan cara menambah bab tersendiri dalam KUHP mengenai tindak pidana
tertentu.
D. Pertanggung Jawaban Pidana
Criminal
responsibility atau yang disebut
dengan pertanggungjawaban pidana pada dasarnya merupakan
implementasi tanggung jawab seseorang untuk menerima setiap resiko atau konsekuensi yuridis yang muncul
sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya.
Pilar yang kedua dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban
pidana merupakan syarat subjektif dari pemidanaan, selain sifat melawan hukum
perbuatan sebagai syarat objektif. Artinya, meskipun syarat objektif telah
terpenuhi, seseorang tidak dapat dengan serta-merta dikenakan pidana, jika
belum terpenuhi syarat subjektifnya, yakni pertanggungjawaban pidana yang
maknanya mengarah pada pengertian kesalahan dalam arti seluas- luasnya.
Berkenaan dengan hal ini, penulis mengutip pendapat Sudarto yang menyatakan
sebagai berikut:
“Dipidananya seseorang tidaklah
cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi
rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum
memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya
syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau
bersalah (subjektive guilt).
Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya, atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru
dapat dipertanggungkan kepada orang itu”.[76]
Ditinjau dari tataran pembaharuan hukum pidana, maka pertanggungjawaban
pidana yang diorientasikan pada pendekatan humanistik, melahirkan ide
individualisasi pidana yang memiliki karakteristik sebagai berikut:[77]
1.
pertanggungjawaban (pidana) bersifat
pribadi/perorangan (asas) personal ;
2.
pidana hanya diberikan kepada
orang yang bersalah (asas culpabilitas: “tiada pidana tanpa kesalahan);
3.
Pidana harus disesuaikan dengan
karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibelitas
bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi)
dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung
jawab menurut van Hamel adalah suatu keadaan normal dan
kematangan psikis seseorang yang membawa 3
(tiga) macam kemampuan untuk:[78]
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;
b.
Menyadari
bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat;
c.
Menentukan
kemampuan/kecakapan terhadap perbuatan tersebut.
Pada prinsipnya berbicara masalah
pertanggungjawaban pidana ini sama halnya
berbicara mengenai kesalahan (culpabilitas) yang merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, yang mendalilkan bahwa “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).
Menurut Pompe, kesalahan mempunyai ciri sebagai
hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak
mencegah kelakukan yang melawan hukum.[79]
Vos melengkapi bahwa subtansi dari kesalahan
adalah:[80]
a.
Kemampuan
bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan;
b.
Hubungan batin antara si pelaku dengan
perbuatan yang dilakukan yang berbentuk kesengajaan;
c.
Tidak adanya alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pada pembuat.
Roeslan Saleh berpendapat bahwa
terdapat 4(empat) unsur kesalahan, yakni:[81]
a. Adanya
perbuatan pidana;
b. Adanya
kemampuan bertanggung jawab;
c. Dilakukan
dengan sengaja atau alpa;
d. Tidak
adanya alasan penghapus pidana.
Dari
beberapa pendapat ahli tersebut di atas, Martiman menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban
pidana dapat ditinjau dalam 2 (dua) arti, yakni: [82]
1. Pertanggungjawaban pidana dalam
arti luas (schuld in ruime zin),
yang terdiri dari 3 (tiga) unsur:
a.
Kemampuan bertanggung jawab orang yang
melakukan perbuatan (toerekenings vatbaarheid);
b.
Hubungan batin (sikap psikis) orang yang
melakukan perbuatan dengan perbuatannya, baik sengaja ataupun culpa;
c.
Tidak adanya alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana pembuat.
2. Pertanggungjawaban pidana dalam arti
sempit (schuld in enge zin) yang
terdiri atas 2 (dua) unsur:
a.
sengaja (dolus)
b. alpa (culpa)
Sedikit
berbeda dengan Martiman, Sudarto berpendapat bahwa kesalahan dalam arti
seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam
hukum pidana”. Di dalamnya mengandung makna dapat dicelanya si pembuat atas
perbuatannya.Adapun unsur-unsur kesalahan dalam arti yang luas adalah sebagai
berikut:
1.
Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si
pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal;
2.
Hubungan batin antara si pembuat dengan
perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus)
atau kealpaan (culpa);
3.
Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan
atau tidak ada alasan pemaaf.
Sedangkan, kesalahan dalam arti sempit adalah kealpaan (culpa).[83]
Persoalan
kesalahan terkait dengan kebebasan kehendak.mengenai hubungan kebebasan
kehendak dengan kesalahan diuraikan selanjutnya dalam 3 (tiga)aliran di bawah
ini:[84]
1. Aliran
determinisme
Bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas.
Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif-motif seseorang.
Artinya, seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya dikarenakan ia tidak
mempunyai kehendak bebas. Namun meskipun demikian, seseorang tersebut tetap
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, tetapi konsekuensi yang
dikenakan kepadanya berupa tindakan untuk ketertiban masyarakat, bukan sanksi
pidana.
2.
Aliran indeterminisme
Bahwa manusia dapat menentukan kehendaknya
secara bebas dalam melakukan setiap perbuatannya, dan ini merupakan sebab dari
segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada
kesalahan, dan apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pemidanaan.
3.
Golongan ketiga
Dalam hukum pidana, ada atau pun tidak adanya
kebebasan kehendak itu tidak menjadi persoalan. Kesalahan seseorang tidak
dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas.
[3] Muhammad Said Reksohadiprodjo, Masalah Pendidikan Nasional, CV. Haji
Masugio, Jakarta, 1989, hlm 19
[4] Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Kesindo Utama,
Surabaya, 2009, hlm. 128
[10] Muhammad Said Reksohadiprodjo, Masalah Pendidikan Nasional, CV. Haji Masugio, Jakarta, 1989, hlm 19.
[12] Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kesindo Utama, Surabaya, 2009, hlm. 131
[13] Fungsi
Pendidikan Di Indonesia, http://suaraterbaru.com/fungsi-pendidikan-diIndonesia, diakses tanggal 17 Januari
2012, hlm 1.
[30] Moch. Lukman Fatahullah Rais, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997. hlm. 5
[35] R. Soesilo, Pokok- pokok
Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik- Delik Khusus, Politea, 1974, hlm 40
[38] Schaffmeister, Hukum
Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P & K, Penerbit Liberty, Yokyakarta,
1995, hlm. 39
[40] Barda Nawawi Arief, Makalah “Konsepsi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel
Dalam Hukum Pidana”, disampaikan pada Seminar Nasional di Hotel Patra
Jasa Semarang, 6 – 7 Mei 2004, hlm. 4
[42] Indriyanto Seno Adji, Makalah “Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiel Dan
Masalahnya Dalam Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia”, disampaikan pada
Seminar Nasional tentang “Asas-ASas Hukum Pidana Nasional”, di Semarang, 26 –
27 April 2004, hlm. 23 – 24
[55] Barda
Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif
Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Dengan Pidana Penjara, Op. Cit,
hlm 18
[58] Ibid,
hlm 25
[59] Ibid,
hlm 21
[60] Ibid, hlm
25 - 26
[62] Ibid,
hlm 27
[71] Ibid
[78] Martiman
Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm.33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar