Rabu, 25 Juli 2012



TINJAUAN PUSTAKA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA 
PEMALSUAN IJAZAH GELAR KESARJANAAN

A.  Pengertian Pendidikan, Tujuan  dan Fungsi Pendidikan
1.    Pengertian Pendidikan
Manusia merupakan makhluk dinamis yang bercita-cita meraih kehidupan yang sejahtera dan bahagia, baik lahiriah maupun batiniah. Salah satu cara yang ditempuh manusia untuk mencapai tujuan tersebut adalah melalui proses pendidikan, karena proses pendidikan dilaksanakan secara bertahap berdasarkan perencanaan yang matang untuk mencapai tujuan atau cita-cita tersebut.
Soegarda Poerbakawatja, menyatakan definisi pendidikan sebagai berikut:
“Semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya (orang menamakan ini juga “mengalihkan” kebudayaan dalam bahasa Belanda cultuuroverdracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani”.[1]

Demikian pentingnya eksistensi pendidikan dalam kehidupan manusia menyebabkan pendidikan menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditawar lagi (education as necessity of life). Seperti halnya kebutuhan akan pangan, jika diilustrasikan maka tanpa makan manusia secara biologis tidak akan bertahan, dan tanpa ilmu (pendidikan) secara rohani manusia juga akan sulit bertahan. Dari ilustrasi sederhana tersebut, yang dimaksud pendidikan di sini bukan hanya pendidikan di bangku sekolah (dalam arti formal), melainkan mengandung pengertian yang lebih luas dari pada artian formalnya.
Noor Syam menyadur pendapatnya Carter V. Good dalam buku yang berjudul Dictionary of Education menyebutkan bahwa pendidikan adalah:[2]
a.    Proses Perkembangan Pribadi;
b.    Proses Sosial;
c.    Professional Courses;
d.   Seni untuk membuat dan memahami ilmu pengetahuan yang tersusun dan diwarisi atau dikembangkan oleh setiap generasi bangsa.

Berdasarkan pendapat tersebut pendidikan merupakan sebuah lembaga dari masyarakat yang beradab, namun tujuan dari pendidikan tersebut tidak sama dalam semua masyarakat. Sistem pendidikan yang nantinya menemukan prinsip-prinsip umum dan tujuan akhir serta filosofis dari fungsi tatanan masyarakat tersebut.
Muhammad Said Reksodiprodjo yang menyadur pendapat Ki Hajar Dewantara mengenai Pendidikan Nasional yang menyatakan sebagai berikut:
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya (cultureel national) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan (maatschappelijk) yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya agar dapat bekerja sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.[3]

Berdasarkan hal tersebut maka proses pendidikan sebagai proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi, pendidikan dibatasi pada fungsi tertentu di dalam masyarakat yang terdiri atas penyerahan adat-istiadat (tradisi) dengan latar belakang sosialnya, pandangan hidup masyarakat itu kepada warga masyarakat generasi berikutnya, dan demikian seterusnya demi tercapainya tujuan nasional yang hendak dicapai oleh bangsa Indonesia .
Sistem Pendidikan Nasional dalam memberikan definisi Pendidikan sebagai berikut :
Pasal 1 butir 1 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu :
Pendidikan adalah sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[4]

Pasal 1 butir 2 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003  Tentang Sistem Pendidikan Nasional yaitu:
Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.[5]

Berdasarkan ketentuan tersebut pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat, hal ini dikarenakan proses pendidikan merupakan amanat dari Undang-undang dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945.
 Pasal 31 ayat 1 Undang-undang dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan sebagai berikut :
setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan”. [6]
Pasal 31 ayat 1 Undang-undang dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan sebagai berikut :
menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta ahlak mulai dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. [7]

Pendidikan Sejati menurut Kartini Kartono adalah:
Upaya yang sistematis untuk pembebasan yang permanen dari macam-macam keterbelengguan (terbelenggu oleh kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kesengsaraan, penindasan dan lain-lain), sehingga individu bisa menjadi :[8]
a.    Pribadi yang memiliki kesadaran diri, tahu akan martabat dan penentuan tempatnya (plaatsbepaling, tahu unggah-ungguh fungsi dan tugas kewajibannya);
b.    Bertanggung jawab susila, mampu mandiri; ringkasnya bisa menjadi manusia utuh.

Dalam hal ini, pendidikan lebih ditekankan pada tujuannya untuk memerdekakan manusia dari berbagai macam keterbelengguan baik terbelenggu oleh kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, kesengsaraan, penindasan dan lain-lain yang bersifat mengekang kebebasan manusia menjadi manusia seutuhnya.
2.    Tujuan Pendidikan
Setiap keberhasilan diawali dari kejelasan dan ketegasan dari tujuan yang hendak dicapai. Sebagai landasan filosofis dari suatu kegiatan, masalah tujuan pendidikan adalah masalah norma. Masalah norma adalah masalah filsafat, khususnya filsafat tentang hakekat manusia, dan kedudukan manusia di tengah dunianya dengan segenap harapan-harapannya, baik harapan yang sekuler (das sein) maupun yang keakhiratan (nachweltliches sein).
Kartini Kartono memberikan tujuan pendidikan sebagaimana dimaksud di atas sebagai berikut:
Bahwa masalah tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam Pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan, perbuatan mendidik dapat sesat, atau kabur tanpa arah. Karena itu perumusan secara tegas tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan teoretis-pedagogis dan perenungan filsafati. Sebab di dalam tujuan setiap bentuk pendidikan, secara implisit dan eksplisit terkandung pandangan hidup atau lebensanschauung serta filsafat hidup pendidiknya dan lembaga yang mendidik atau negara.[9]


Penjelasan lebih lanjut mengenai tujuan pendidikan ini Kartini Kartono mengatakan pada intinya bahwa tujuan proses pendidikan dalam dunia yang dinamis dan relativistis, tidak dapat dijumpai di luar pendidikan, melainkan dijumpai di dalam proses itu sendiri. Proses pertumbuhan inilah yang menjadi tujuan akhir. Pertumbuhan ini menjadi satu tujuan; hal tersebut tidak dibawahi oleh apa pun juga, kecuali dibawahi oleh pertumbuhan selanjutnya.
Muhammad Said Reksohadiprodjo berpendapat mengeni tujuan pendidikan sebagai berikut :
Bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk tujuan pembinaan integre dan tepat guna dari masyarakat dan kebudayaan Indonesia yang berkepribadian Nasional yang baik dan luhur berdasarkan Pancasila. Integre di sini bermakna pendidikan hendaknya mengusahakan agar orang dapat membina dan mengembangkan dirinya menjadi manusia yang “Mandireng Pribadi”, merasa bertanggung jawab atas terwujudnya makna eksistensi sebagai satusatunya makhluk Tuhan yang berbudi luhur.[10]

Berdasarkan tujuan di atas, tujuan pendidikan diarahkan untuk menjadikan manusia sebagai pribadi yang berbudi luhur yang dapat membina dirinya menjadi manusia bertanggungjawab.
Plato dalam bukunya yang klasik Republik berkata :
“Tujuan pendidikan tidak dapat dipisahkan dari tujuan negara. Karena itu Pendidikan dan politik tidak bisa dipisah-pisahkan. Selanjutnya sarana untuk mencapai masyarakat adil dan bahagia (kebahagiaan setingi-tingginya bagi jumlah orang sebanyak-banyaknya) ialah pendidikan.[11]

Berdasarkan beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan di atas, dapat disimpulkan pada dasarnya pendidikan dan pengajaran bertujuan untuk membentuk manusia yang cakap, memiliki moralitas dan integritas terhadap pengetahuan yang dimilikinya sehingga dapat bersikap demokratis serta bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Negara Indonesia merumuskan tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut:
Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional :
 “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.[12]

3.    Funsi Pendidikan

Dalam membahas fungsi pendidikan ini akan difokuskan pada tiga fungsi pokok dari pendidikan, yakni :
Pendidikan sebagai penegak nilai, pendidikan sebagai sarana pengembang masyarakat, dan pendidikan sebagai upaya pengembangan potensi manusia. Penjelasan dari tiga fungsi pendidikan adalah sebagai berikut :[13]

Pendidikan sebagai penegak nilai Pendidikan mempunyai peran yang amat penting dalam kaitan dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pendidikan merupakan penegak nilai dalam masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa pendidikan memelihara serta menjaga tetap lestarinya nilai-nilai tersebut dalam masyarrakat. Untuk memelihara dan menjaga nilai-nilai ini dengan sendirinya dunia pendidikan harus selektif sehingga tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Masyarakat dapa melaksanakan kehidupannya secara tenang sesuai dengan keyakinan masing-masing. Dengan demikian nilai-nilai yang ada dalam masyarakat tetap menjadi landasan bagi setiap anggota masyarakat.
Pendidikan sebagai sarana pengembang masyarakat Pendidikan dalam suatu masyarakat akan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Kiprah pendidikan tersebut sangat tergantung pada seberapa aktif dan kreatif para pendidik dalam masyarakat tersebut. Dalam hal ini biasanya para tokoh masyarakat, para guru dan para pendidik lain merupakan motor penggerak serta kemajuan masyarakat yang bersangkutan.
Pendidikan sebagai upaya pengembangan potensi manusia Melalui pendidikan, diharapkan dalam potensi dalam diri individu akan lebih berkembang. Sehingga dengan hal ini perkembangan dalam masyarakat akan terus mengarah yang lebih baik dan tercipta generasi-generasi penerus yang lebih handal. Pengembangan kemampuan anggota masyarakat dalam menyiapkan generasi penerus merupakan tugas dan fungsi pendidikan yang paling menonjol.
Menurut Fuad Ihsan sebagai berikut :

“fungsi pendidikan dalam arti mikro ialah membantu (secara sadar) perkembangan jasmani dan rohani peserta didik. Sedangkan fungsi pendidikan secara makro adalah sebagai alat : pengembangan pribadi, pengembangan warga Negara, pengembangan kebudayaan, pengembangan bangsa”. [14]

Hal tersebut menjelaskan bahwa pendidikan memiliki dua fungsi yaitu secara mikro dan fungsi secara makro. Dari kedua fungsi pendidikan tersebut, kita dapat menarik hubungan bahwa pendidikan mengembangkan potensi pribadi yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan bangsa sebagai kumpulan pribadi-pribadi tersebut.
Negara Indonesia merumuskan fungsi Pendidikan Nasional dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut:[15]
 “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

B.  Hukum Pidana, Asas- Asas Hukum Pidana, Pengertian Tindak Pidana Dan Unsur- Unsurnya

1.    Hukum Pidana

Hukum pidana menurut Mr. W.F.C. van Hattum merumuskan sebagai berikut:[16]
“Het smenstel van de beginselen en regelen, welke de staat of eenige andere penbare rechtsgemeeschap volgt, in zoover hij als handhaver der openbare rechtsorde, onrecht verbiedt en aan zijner voorschriften voor den overtreder een bijzonder leed als strafverbindt”.
Yang artinya : “suatu keseluruhan dari asas- asas dan peraturan- peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan- tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan- peraturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman”.

Hukum Pidana menurut Utrech mengikuti pendapat van Kan sebagai berikut :
“Merupakan hukum sanksi istimewa atas pelanggaran kaidah hukum publik maupun pelanggaran atas hukum privat yang telah ada. Hukum pidana melindungi baik kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan hukum publik maupun kepentingan yang diselenggarakan oleh kepentingan hukum privat”.[17]

Hal yang membedakan hukum pidana dari hukum lain ialah sanksi yang berupa pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran normanya. Sanksi dalam hukum pidana ini adalah sanksi yang negatif. Sifat dari sanksi pidana itu sendiri adalah baru diterapkan apabila sarana (upaya) lain sudah tidak memadai, maka dari itu hukum pidana dikatakan mempunyai fungsi subsidair.
Kemudian Soedarto berpendapat sebagai berikut :
Sifat pidana disebut juga sebagai ultimum remedium (obat yang terakhir), artinya apabila tidak perlu hendaknya jangan menggunakan pidana sebagai sarana.[18]
 Keberadaan pidana tidak dapat dihindarkan dalam masyarakat. Walaupun harus diakui bahwa pemidanaan memang merupakan alat pertahanan terakhir.
Menurut Roeslan Saleh berpendapat sebagai berikut:
Keberadaan pemidanaan merupakan akhir dan puncak dari keseluruhan sistem upaya-upaya yang dapat menggerakkan manusia melakukan tingkah laku tertentu seperti yang diharapkan masyarakat.[19]
Menurut Sholehuddin berpendapat sebagai berikut :
Pada tataran ide dasar, antara sanksi pidana dan tindakan memiliki perbedaan fundamental. Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.[20]


2.    Asas- Asas Hukum Pidana

a.    Asas Legalitas

Mengenai rumusan Asas legalitas ini, lamintang menulisnya sebagai berikut :
“Pasal 1 ayat 1 KUHP dalam bahasa Belanda adalah “Gee Feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”. Atinya; tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang- undang yang telah ada terlebih dahulu dari perbuatan itu sendiri”.[21]

Biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian sebagaimana yang dikatakan oleh Moelyatno sebagai berikut :[22]
(1)     Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang- undang;
(2)     Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi;
(3)     Aturan- aturan pidana tidak berlaku surut.

Tujuan dari adanya legalitas ini menurut Simons yang disadur oleh Lamintang adalah sebagai berikut :
Peraturan ini dapat dipandang sebagai suatu pengakuan terhadap adanya suatu kepastian hukum bagi pribadi- pribadi yang harus dijamin, yaitu sejauh peraturan tersebut mensyaratkan bahwa peraturan yang bersifat mengharuskan atau yang bersifat melarang itu harus ada terlebih dahulu dan sejauh itu mensyaratkan bahwa ancaman hukuman harus telah ada dahulu dari perbuatannya itu sendiri”.[23]

Lamintang juga menyadur pendapatnya Pompe tentang tujuan dari asas legalitas ini sebagai berikut :
“Tujuan peraturan yang pertama itu adalah tetap, yaitu memahami kebebasan individu terhadap kesewenang-wenangan dari penguasa”.[24]
Dari beberapa pendapat diatas maka penulis sepakat bahwa keberadaan asas legalitas sangatlah diperlukan untuk menegakkan hukum dengan baik, sekalipun dalam masyarakat masih banyak ketentuan hukum yang lain yang berlaku misalnya hukum adat namun untuk melindungi kepentingan individu- individu dari penguasa negara maka keberadaan asas ini sangat diperlukan.
b.   Asas Praduga Tidak Bersalah / Asas presumption of innoncence

Asas ini sebenarnya diambil dari undang- undang nomor 14 tahun 1970 dan terdapat juga dalam penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang isinya :
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh hukum tetap”.[25]

c.    Asas untuk memperoleh bantuan hukum (Legal Aids)

Asas ini terdapat juga dalam penjelasan umum angka 3 huruf f KUHAP yang isinya :
“Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata- mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.[26]
d.    Asas Equality Before The Law

Asas ini merupakan bentuk dari pelaksanaan supremasi hukum dengan tidak adanya perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, namun semua dianggap sama.
Dalam penjelasan umum KUHAP angka 3 huruf a tentang azas ini dikatakan sebagai berikut :
“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan”.[27]
e.    Asas Ne Bis In Idem

Asas ne bis en idem ini adalah merupakan asas hukum pidana yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut untuk keduan kalinya dalam perkara yang sama yang telah memiliki ketentuan hukum yang tetap. Akan tetapi dalam asas ini mengandung beberapa syarat yang harus dipenuhi agar dikatakan ne bis in idem.

Van Bemmelen mengatakan mengenai syarat tersebut adalah sebagai berikut :
“syarat bahwa suatu perbuatan itu dapat dikatakan sesuai dengan ne bis in idem, perbuatan tersebut haruslah tidak dilakukan pada waktu yang berbeda dan tidak dipisahkan oleh beberapa perbuatan atau tindakan yang lain”.[28]
3.    Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana atau yang dikenal juga dengan sebutan perbuatan pidana merupakan sebuah istilah yuridis yang menggambarkan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh suatu aturan hukum. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.[29]
Sedangkan R. Soesilo mendefinisikan tindak pidana sebagai berikut:
“Sebagai suatu perbuatan yang dilarang atau diwajibkan undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana.”[30]
Kemudian Simons memberikan defenisi tentang tindak pidana dalam bukunya P.A.F. Lamintang sebagai berikut :[31]
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.

Moelyatno memberikan defenisi dari perbuatan pidana sebagai berikut :[32]
“Perbuatan pidana adalah merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.

4.    Unsur- Unsur Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang tidak diperkenankan oleh undang-undang, dan karenanya dapat dikenakan pidana apabila dilanggar. Dalam konteks yang sederhana, tindak pidana mensyaratkan 3 (tiga) unsur yang oleh Sauer disebut dengan Trias dalam hukum pidana, yaitu: sifat melawan hukumnya perbuatan, kesalahan dan pidana.[33]
Moeljatno juga mensyaratkan 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi perbuatan pidana, yaitu:[34]
1. Adanya perbuatan (manusia);
2. Memenuhi rumusan Undang-undang;
3. Bersifat melawan hukum.

R. Soesilo memberikan pendapat mengenai unsur- unsur tindak pidana adalah :[35]
a. Adanya perbuatan manusia;
b. Perbuatan tersebut diatur dalam ketentuan hukum
c. Adanya kesalahan
d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan

Dalam konteks yang lebih luas, unsur-unsur tindak pidana umumnya terdiri atas:[36]
a.    Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b.    Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);
c.     Melawan hukum (onrechtmatig);
d.    Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
e.    Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon).

1. Memenuhi Rumusan Undang-undang
Artinya, perbuatan tersebut harus sesuai dengan rumusan undang-undang yang relevan. Hal ini merupakan syarat formil yang harus dipenuhi sebagai konsekuensi dari asas fundamental hukum pidana yaitu: asas legalitas. Asas legalitas yang termuat dalam adagium yang berbunyi : nullum delictum noella poena sine previa legi noella poenali, yang artinya tiada satu perbuatan dapat dikenai pidana, kecuali telah diatur sebelumnya dalam peraturan perundang-undangan.
Mengingat demikian pentingnya asas legalitas ini, KUHP meletakkan asas ini dalam Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi: “Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut terjadi”.
Moeljatno mengartikan asas legalitas ini dengan 3 (tiga) pengertian, yaitu:[37]
a.    Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-undang.
b.    Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh dilakukan analogi (kiyas).






1.    Sifat Melawan Hukum Perbuatan (onrechtmatig)

Aturan- aturan hukum tidak berlaku surut (retroaktif). Artinya, bertentangan dengan hukum. Sifat melawan hukum perbuatan (onrechtmatig) ini merupakan syarat materil dari tindak pidana.
Menurut Schaffmeister dalam dogmatik hukum pidana terdapat empat makna “sifat melawan hukum” yang berbeda-beda, yang masing-masing dinamakan sama, yakni:[38]
a.    Sifat melawan hukum umum
Diartikan sebagai syarat umum untuk dapat dipidana yang tersebut dalam rumusan pengertian perbuatan pidana.
b.    Sifat melawan hukum khusus
Diartikan , sebagai sifat melawan hukum yang menjadi bagian tertulis dari rumusan delik.
c.    Sifat melawan hukum formil
Artinya, telah memenuhi semua syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
d.   Sifat melawan hukum materil
Artinya, melanggar atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk Undang-undang dalam rumusan delik tertentu.

Asas “sifat melawan hukum materiel” menurut Teguh Prasetyo adalah sebagai berikut :
“Prinsip yang menyatakan bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela”.[39]
Menurut Barda Nawawi Arief berpendapat sifat melawan hukum sebagai berikut,
Sifat melawan hukum materiel identik dengan melawan/bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law/the living law), bertentangan dengan asas-asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kehidupan sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Jadi, hukum tidak dimaknai sebagai wet, tetapi dimaknai secara materiel sebagai “recht”. Oleh karena itu sifat melawan hukum materiel identik dengan “onrechtmatige daad”.[40]

Sifat melawan hukum materil ini dibedakan berdasarkan fungsinya, yakni:[41]
                                 a.     fungsinya yang negatif;
Artinya sumber hukum materiel (hal-hal/kriteria/norma di luar undang-undang) dapat digunakan sebagai alasan untuk meniadakan/menghapuskan (menegatifkan) sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Jadi tidak adanya sifat melawan hukum materiel dapat digunakan sebagai alasan pembenar.
                                b.     fungsinya yang positif.
Artinya sumber hukum materiel (hal hal/kriteria/norma/undang-undang) dapat digunakan untuk menyatakan (mempositifkan) bahwa suatu perbuatan tetap dapat dipandang sebagai tindak pidana (perbuatan melawan hukum) walaupun menurut Undang-undang tidak merupakan tindak pidana.

Dalam praktek perkembangan hukum pidana, terdapat perbuatan-perbuatan yang hilang sifat melawan hukumnya atas dasar alasan pembenaran yang tidak mungkin ditemukan dalam undang-undang (tertulis) yang ada. Alasan-alasan penghapus pidana di luar undang-undang ini diterima oleh hakim berdasarkan ungkapan kasus di pengadilan maupun pandangan ahli hukum pidana (doktrin) yang terus berkembang, berupa:[42]
a. Tuchtrecht
Yaitu, hak mengawasi dan mendidik dari orang tua, wali, guru terhadap anak-anak mereka dan murid-muridnya dimana dalam batasbatas tertentu berhak merampas kebebasan anak-anak yang belum dewasa atau murid-muridnya.
b. Beroepsrecht
Yaitu, hak jabatan para dokter (juru obat, bidan) yang melakukan tindakan medis semisal operasi melalui pembedahan pada pasien dikarenakan suatu alasan medis tertentu sehingga menghilangkan sifat melawan hukumnya.
c. Toestemming
Yaitu, ijin dari orang yang merasa dirugikan akan hilang sifat melawan hukumnya. Misalnya pemukulan dalam olah raga tinju.

W. van Veen memberikan istilah “facet Wederrechtelijkheid” yang menyatakan:[43]

Bahwa hapusnya sifat melawan hukum atas dasar alasan pembenar hanya sebagai pengecualian yang jarang sekali. Hakim hanya boleh melakukan ini, jika ia berpendapat bahwa kalau pembuat undang-undang sendiri menghadapi persoalan ini sudah pasti akan dibuatnya kekecualian, atau jika hakim itu berpendapat bahwa terdakwa dengan perbuatannya berkehendak untuk mencapai tujuan yang oleh setiap orang dipandang sebagai suatu “tujuan yang baik”, sehingga dapat dipertanggungjawabkan dikesampingkannya kepentingan pembuat undang-undang yang membuat peraturan pidana dengan tujuan memberikan perlindungan.

Menurut Langmeyer dan J.M. van Bemmelen yang mengambil alih dari “Sigaretten” arrest Hoge Raad tanggal 16 Oktober 1949 berpendapat:[44]
Bahwa diterimanya alasan pembenar yang meniadakan sifat melawan hukum materiel suatu perbuatan jika suatu tingkah laku yang termasuk dalam rumusan delik, dipandang dari sudut tata hukum, menghasilkan keuntungan yang demikian rupa dapat dirasakan, sehingga keuntungan ini lebih dari cukup seimbang dengan kerugian yang disebabkan oleh tindakan yang bertentangan dengan undang-undang.

Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keuntungan yang ternyata jauh melebihi cukup seimbang antara perbuatan yang memenuhi rumusan delik dengan kerugian akibat adanya pelanggaran delik, yang dapat menghilangkan sifat melawan hukumnya.
Dalam suatu disertasi doktoral di Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 22 Maret 1994, Komariah Emong Sapardjaja memberikan kriteria yang merupakan gabungan pendapat Langmeyer dan J.M. van Bemmelen serta putusan Mahkamah Agung untuk menghilangkan sifat melawan hukum materiel, yaitu harus dilihat apakah perbuatan terdakwa:[45]
1.    mempunyai tujuan nyata yang memberikan manfaat terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang- undang;
2.    melindungi suatu kepentingan hukum yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan hukum yang dituju oleh perumusan tindak pidana yang dilanggarnya;
3.    mempunyai nilai yang lebih besar bagi kepentingan masyarakat dibandingkan dengan kepentingan diri sendiri.

3. Kesalahan
Kesalahan merupakan jantung dari hukum pidana. Demikian pentingnya unsur kesalahan sehingga eksistensinya diletakkan sebagai salah satu syarat subjektif untuk dapat dipidananya seseorang. Artinya, sebelum adanya pemidanaan harus dibuktikan terlebih dahulu adanya kesalahan pada diri si pembuat. Berkenaan dengan kesalahan ini, Sudarto berpendapat bahwa:[46]
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undangundang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang itu”.

Selanjutnya dikemukakan oleh Sudarto, bahwa:[47]
“Untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih dahulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Jika tidak ada, artinya kalau perbuatannya tidak melawan hukum maka, maka tidak ada perlunya untuk menetapkan kesalahan si pembuat. Sebaliknya, seorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan”.

Adanya kesalahan mengandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatan yang dilakukannya. Dalam hal ini berlaku asas “Tiada Pidana tanpa Kesalahan” (keine straf ohne schuld atau geen straf zonder schuld atau nulla poena sine culpa).[48]
Terdapat 2 (dua) bentuk kesalahan dalam pengertian yuridis, yakni:
a.     Kesengajaan (dolus, opzet, vorsatz atau intention)
Dalam Memorie van Toechlichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Menurut Moeljatno, kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan.[49]
b.    Kealpaan (culpa, onachtzaamheid, nalatigheid, Fahrlassigkeit atau negligence).[50]

Merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan , akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya. Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan merupakan kekurangan perhatian pelaku terhadap objek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang. Antara kesengajaan dengan kealpaan sebenarnya hanya berbeda gradasi saja.

C.  Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)
1. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dengan Menggunakan Pidana

Fenomena kejahatan sebagai salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat. Menurut Benedict S. Alper kejahatan merupakan the oldest sosial problem.[51] Sebagai bentuk masalah sosial bahkan masalah kemanusiaan maka kejahatan perlu segera ditanggulangi. Upaya penanggulangan kejahatan atau biasa disebut sebagai kebijakan kriminal.
Menurut Marc Ancel kebijakan kriminal (criminal policy) adalah sebgai berikut :
 “Suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.[52]
Secara garis besar kebijakan kriminal ini dapat ditempuh melalui dua cara yaitu :[53]
1.    Upaya Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya – upaya yang sifatnya repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahat terjadi;
2.    Upaya Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut terjadi. Sasaran utama dari kejahatan ini adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

G.P. Hoefnagels menggambarkan ruang lingkup upaya penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai berikut :[54]
a. penerapan hukum pidana (criminal law application);
b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan;
c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing view society on crime and punishment/ mass media).

Berdasarkan ruang lingkup kebijakan kriminal di atas, penerapan hukum pidana (criminal law application) merupakan salah satu upaya penanggulangan kejahatan. Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan pidana sebenarnya bukan sebuah metode yang baru, melainkan cara yang paling tua, setua peradaban manusia sendiri. Bahkan, ada yang secara ekstrem meyebutkan sebagai “older philosophy of crime control”.[55]
 Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pedekatan kebijakan. Artinya, terdapat keterpaduan (integralitas) antara politik kriminal dan politik sosial, sekaligus terdapat keterpaduan (integralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan “penal” dan “non-penal”.[56]
2.    Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

Kebijakan atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah policy dan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah politiek pada hakekatnya merupakan masalah penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah:[57]
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2.    Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang dicita-citakan;

Berdasarkan pemikiran di atas, selanjutnya Sudarto menyatakan sebagai berikut:
  bahwa kebijakan atau politik hukum pidana (penal policy) adalah usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.[58]

Pengertian yang demikian nampak juga dalam definisi yang dikemukakan oleh Marc Ancel sebagau berikut :
bahwa penal policy adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang dan juga kepada pengadilan yang menerapkan undangundang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana keputusan.[59]

A.Mulder mengemukakan bahwa kebijakan hukum pidana (strafrechtspolitiek) merupakan garis kebijakan untuk menentukan:[60]
a.  seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b. apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c.  cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.

Dari beberapa pengertian di atas, Barda Nawawi Arief menyimpulkan sebagai berikut :
bahwa politik hukum pidana identik dengan pengertian “Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Dilihat dalam arti luas, ruang lingkup kebijakan hukum pidana mencakup kebijakan di bidang hukum pidana materil, di bidang hukum formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. [61]

Sebagai upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), khususnya penegakan hukum pidana, dan juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (sosial defence) serta usaha untuk mencapai kesejahteraan masyarakat (sosial welfare).[62] Dalam hal ini Sudarto mengemukakan penggunaan hukum pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau sosial defence planning” yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. [63]
Hermann Mannheim mengemukakan bahwa dalam hukum pidana terdapat dua masalah utama yang dihadapi, yaitu:[64]
a.    penentuan pandangan tentang nilai-nilai terpentingnya (the most important values) manakah yang ada pada masa pembangunan ini;
b.    penentuan apakah nilai-nilai itu diserahkan untuk dipertahankan oleh hukum pidana ataukah diserahkan pada usaha-usaha lain untuk mempertahankannya.

Dalam kebijakan hukum pidana terdapat dua masalah sentral yang harus ditentukan, yaitu:[65]
a.     Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
b.    Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.
Masalah sentral yang pertama umumnya disebut sebagai proses kriminalisasi, sedangkan masalah yang kedua dikenal dengan proses penalisasi. Adapun alasan kriminalisasi pada umumnya meliputi :[66]
1.    Adanya korban;
artinya, perbuatan tersebut harus menimbulkan seseuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian.
2.    Kriminalisasi bukan semata-mata ditujukan untuk pembalasan;
3.    Harus berdasarkan asas ratio principle, dan
4.    Adanya kesepakatan sosial ( public support)

Berdasarkan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan sosial, maka Sudarto berpendapat dalam menghadapi masalah sentral yang pertama di atas, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya :[67]
a.    Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
b.    Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spirituiil) atas warga masyarakat; Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”. (cost-benefit principle);
c.    Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting

Menurut Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai tertentu yang perlu dilindungi. Adapun kepentingan-kepentingan sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut:[68]
a.    pemeliharaan tertib masyarakat;
b.    perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;
c.    memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;
d.   memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.


Ditegaskan selanjutnya oleh Bassiouni, bahwa:
Sanksi pidana harus disepadankan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan tersebut. Pidana hanya dibenarkan apabila ada kebutuhan yang berguna bagi masyarakat ; pidana yang tidak diperlukan, tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasarkan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang mewujudkannya. Jadi dalam hal ini, disiplin hukum pidana bukan hanyapragmatis tetapi juga berdasarkan dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value – oriented).[69]

Dalam hal kriminalisasi dan dekriminalisasi, Bassiouni berpendapat harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor sebagai berikut :[70]
a.    keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil-hasil yang ingin dicapai;
b.    analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari;
c.    penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia;
d.   pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder.

Selanjutnya, dikemukakan oleh Bassiouni sebagai berikut :
bahwa pendekatan yang berorientasi pada kebijakan akan memunculkan permasalahan, yakni berkenaan dengan pengambilan keputusan yang tidak mengakomodir faktor nilai-nilai yang merupakan faktor subjektif, sehingga keputusan yang diambil cenderung akan pragmatis dan kuantitatif.[71]

Masih menurut Bassiouni, dikemukakan :

bahwa penilaian emosional seyogyanya oleh badan-badan legislatif dijadikan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan tersebut (the emotionally laden value judgment approach), Sedangkan, pendekatan kebijakan dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device digunakan sebagai alternatif . Hal ini digunakan untuk menghindari proses kriminalisasi yang berlebihan, yang dapat menimbulkan:[72]
                                     a.      krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of over-criminalization), dan
                                     b.      krisis kelampauan batas dari hukum pidana (the crisis of overreach of the criminal law).

Berkaitan dengan kemungkinan terjadinya over-criminalization jika proses kriminalisasi berjalan terus-menerus, maka prinsip-prinsip model law yang dibuat oleh organization for economic co-operation and development (OECD) dapat dijadikan pedoman untuk menghindarkan under and overcriminalization, yakni sebagai berikut:[73]
1.    ultima ratio principle
Hukum pidana disiapkan sebagai sarana terakhir atau senjata pamungkas, meskipun pada kenyataannya dewasa ini dunia internasional mulai mengarahkan hukum pidana sebagai premium remedium, khususnya pidana denda yang sekaligus dapat digunakan sebagai dana bagi pembangunan di suatu Negara.
2.    precision principle
Ketentuan hukum pidana harus tepat dan teliti menggambarkan suatu tindak pidana. Perumusan hukum pidana yang bersifat samar dan umum harus dihindari.
3.    clearness principle
Tindakan yang dikriminalisasikan harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana.
4.    principle of differentiation
Adanya kejelasan perbedaan ketentuan yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini perlu dihindari perumusan yang bersifat global/terlalu luas, multipurpose atau all embracing.
5.    principle of intent
Tindakan yang dikriminalisasikan harus dengan dolus (intention), sedangkan untuk tindakan culpa (negligence) harus dinyatakan dengan syarat khusus untuk memberikan pembenaran kriminalisasinya.
6.    principle of victim application
Penyelesaian perkara pidana harus memperhatikan permintaan atau kehendak korban. Dalam hal ini kepentingan korban harus diatur dalam rangka pidana dan pemidanaan.

Dionysios D. Spinellis, Guru Besar Hukum Pidana dan Kriminologi dari Universitas Athena, Yunani mengemukakan pendapatnya mengenai proses penalisasi atau kriminalisasi suatu perbuatan, yaitu sebagai berikut:[74]
1.    Hukum pidana harus benar-benar terbatas pada tindakan-tindakan serius yang membahayakan kondisi-kondisi kehidupan bersama manusia di masyarakat. Hukum pidana harus memberikan lebih banyak usaha dalam menyelidiki secara seksama kasus-kasus tersebut, sekaligus menjamin hak terdakwa dan hak-hak korban.
2.    Dalam proses pemidanaan banyak pelanggaran kecil yang semestinya dikenakan pada sebuah sistem sanksi administratif, tetapi karena sistem tersebut akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang terhadap individu, maka perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.    Pelanggaran-pelanggaran harus digambarkan secara tepat dalam hukum;
b.   Sanksi-sanksi harus ditetapkan setepat mungkin;
c.    Para pegawai Negara yang menerapkan sanksi-sanksi tersebut harus cukup mendidik;
d.   Sebuah prosedur yang tepat dan sederhana harus ditetapkan;
e.    Naik banding atau jalan lain di hadapan pengadilan adalah sebuah kondisi yang sangat diperlukan.

Menurut Muladi terdapat 3 (tiga) metode pendekatan dalam kebijakan kriminalisasi dan penalisasi, yaitu:[75]
a.     Metode Evolusioner (evolutionary approach)
Metode ini memberikan perbaikan, penyempurnaan dan amandemen terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada sebelumnya.
b.    Metode Global (global approach)
Metode ini dilakukan dengan membuat peraturan tersendiri di luar KUHP.
c.     Metode Kompromis (compromise approach)
Metode ini dilakukan dengan cara menambah bab tersendiri dalam KUHP mengenai tindak pidana tertentu.

D.  Pertanggung Jawaban Pidana
Criminal responsibility atau yang disebut dengan pertanggungjawaban pidana pada dasarnya merupakan implementasi tanggung jawab seseorang untuk menerima setiap resiko atau konsekuensi yuridis yang muncul sebagai akibat tindak pidana yang telah dilakukannya.
 Pilar yang kedua dalam hukum pidana adalah pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana merupakan syarat subjektif dari pemidanaan, selain sifat melawan hukum perbuatan sebagai syarat objektif. Artinya, meskipun syarat objektif telah terpenuhi, seseorang tidak dapat dengan serta-merta dikenakan pidana, jika belum terpenuhi syarat subjektifnya, yakni pertanggungjawaban pidana yang maknanya mengarah pada pengertian kesalahan dalam arti seluas- luasnya.
Berkenaan dengan hal ini, penulis mengutip pendapat Sudarto yang menyatakan sebagai berikut:
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang itu”.[76]

Ditinjau dari tataran pembaharuan hukum pidana, maka pertanggungjawaban pidana yang diorientasikan pada pendekatan humanistik, melahirkan ide individualisasi pidana yang memiliki karakteristik sebagai berikut:[77]
1.    pertanggungjawaban (pidana) bersifat pribadi/perorangan (asas) personal ;
2.    pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas: “tiada pidana tanpa kesalahan);
3.    Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibelitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat-ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.

Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab menurut van Hamel adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis seseorang yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk:[78]
a.     Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri;
b.    Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat;
c.    Menentukan kemampuan/kecakapan terhadap perbuatan tersebut.

Pada prinsipnya berbicara masalah pertanggungjawaban pidana ini sama halnya berbicara mengenai kesalahan (culpabilitas) yang merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, yang mendalilkan bahwa “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld).
Menurut Pompe, kesalahan mempunyai ciri sebagai hal yang dapat dicela, dan pada hakikatnya tidak mencegah kelakukan yang melawan hukum.[79]
Vos melengkapi bahwa subtansi dari kesalahan adalah:[80]
a.    Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan;
b.    Hubungan batin antara si pelaku dengan perbuatan yang dilakukan yang berbentuk kesengajaan;
c.    Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatan pada pembuat.

Roeslan Saleh berpendapat bahwa terdapat 4(empat) unsur kesalahan, yakni:[81]
a. Adanya perbuatan pidana;
b. Adanya kemampuan bertanggung jawab;
c. Dilakukan dengan sengaja atau alpa;
d. Tidak adanya alasan penghapus pidana.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut di atas, Martiman menyimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat ditinjau dalam 2 (dua) arti, yakni: [82]
1. Pertanggungjawaban pidana dalam arti luas (schuld in ruime zin), yang terdiri dari 3 (tiga) unsur:
a.    Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan  (toerekenings vatbaarheid);
b.    Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya, baik sengaja ataupun culpa;
c.    Tidak adanya alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat.
2. Pertanggungjawaban pidana dalam arti sempit (schuld in enge zin) yang terdiri atas 2 (dua) unsur:
a. sengaja (dolus)
b. alpa (culpa)

Sedikit berbeda dengan Martiman, Sudarto berpendapat bahwa kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pengertian “pertanggungjawaban dalam hukum pidana”. Di dalamnya mengandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya.Adapun unsur-unsur kesalahan dalam arti yang luas adalah sebagai berikut:
1.        Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat, artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal;
2.        Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);
3.        Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Sedangkan, kesalahan dalam arti sempit adalah kealpaan (culpa).[83]
Persoalan kesalahan terkait dengan kebebasan kehendak.mengenai hubungan kebebasan kehendak dengan kesalahan diuraikan selanjutnya dalam 3 (tiga)aliran di bawah ini:[84]
1.    Aliran determinisme
Bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dan motif-motif seseorang. Artinya, seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya dikarenakan ia tidak mempunyai kehendak bebas. Namun meskipun demikian, seseorang tersebut tetap dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, tetapi konsekuensi yang dikenakan kepadanya berupa tindakan untuk ketertiban masyarakat, bukan sanksi pidana.
2.    Aliran indeterminisme
Bahwa manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas dalam melakukan setiap perbuatannya, dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan, dan apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pemidanaan.
3.    Golongan ketiga
Dalam hukum pidana, ada atau pun tidak adanya kebebasan kehendak itu tidak menjadi persoalan. Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada dan tidak adanya kehendak bebas.



[1] Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedi Pendidikan, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 1980, hlm 257
[2] Noor Syam, Pengantar Dasar- Dasar Kependidikan, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, hlm.3
[3] Muhammad Said Reksohadiprodjo, Masalah Pendidikan Nasional, CV. Haji Masugio, Jakarta, 1989, hlm 19
[4]  Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kesindo Utama, Surabaya, 2009, hlm. 128
[5]  Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003, Loc. Cit. hlm. 128
[6] Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Hasil Amandemen, Op. Cit, hlm 25
[7] Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Hasil Amandemen, Loc.Cit, hlm 25
[8]  Kartini Kartono, Tujuan Pendidikan Nasional, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm. 6
[9] Ibid. hlm. 17
[10] Muhammad Said Reksohadiprodjo, Masalah Pendidikan Nasional, CV. Haji Masugio, Jakarta, 1989, hlm 19.
[11] Kartini Kartono, Op. Cit., Hal. 18
[12] Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kesindo Utama, Surabaya, 2009, hlm. 131
[13] Fungsi Pendidikan Di Indonesia, http://suaraterbaru.com/fungsi-pendidikan-diIndonesia, diakses tanggal 17 Januari 2012, hlm 1.


[14] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, Rineka Cipta, Jakarta, 2003 hlm 11.
[15] Undang- undang  Nomor 20 tahun 2003, Op. Cit, hlm 131.
[16] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, citra aditya Bakti, Bandung 1997, hlm 2.
[17] E.Utrech, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, hlm 65.
[18] Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto FH – UNDIP, Semarang 199 , hlm 32.
[19] Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 1.
[20] Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm 32
[21] Lamintang, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, citra aditya Bakti, Bandung 1997. hlm 123
[22] Moelyatno, Asas- asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002. hlm 25
[23] Lamintang, ibid, hlm 130
[24] Lamintang, Loc. Cit, hlm 130
[25] M. Kardi dan R. Soesilo, Kitap Undang- Undang Hukum Acara Pidana, Politeia, Bogor, 1997, hlm 8
[26] M. Karjadi dan R. Soesilo, ibid, hlm 10
[27] M. Karjadi dan R. Soesilo, ibid, hlm 9
[28] Mr.J.M. Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, Bima Cipta, Jakarta, 1979, hlm 319
[29] Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto FH – UNDIP, Semarang 1990 Hl. 42
[30] Moch. Lukman Fatahullah Rais, Tindak Pidana Perkelahian Pelajar, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997. hlm. 5
[31] Lamintang, Dasar- dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1997. hlm 185
[32] Moelyatno, Asas- Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 54
[33] Sudarto, Op,Cit, hlm. 86
[34] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Hal. 58-63
[35] R. Soesilo, Pokok- pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik- Delik Khusus, Politea, 1974, hlm 40
[36] Sudarto, ,Op.Cit.,Hal.  41
[37] Moeljatno, Op.Cit, Hal. 25
[38] Schaffmeister, Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P & K, Penerbit Liberty, Yokyakarta, 1995, hlm. 39
[39] Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana, Op. Cit., hlm. 35
[40] Barda Nawawi Arief, Makalah “Konsepsi Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana”, disampaikan pada Seminar Nasional di Hotel Patra Jasa Semarang, 6 – 7 Mei 2004, hlm. 4
[41] Ibid, hlm.5
[42] Indriyanto Seno Adji, Makalah “Asas Perbuatan Melawan Hukum Materiel Dan Masalahnya Dalam Perspektif Hukum Pidana Di Indonesia”, disampaikan pada Seminar Nasional tentang “Asas-ASas Hukum Pidana Nasional”, di Semarang, 26 – 27 April 2004, hlm.  23 – 24
[43] Ibid, hlm.24
[44] Ibid, hlm. 25
[45] Ibid, Hal. 26
[46] Sudarto, Op.Cit., Hal. 85
[47] Ibid, Hal. 92
[48] Ibid
[49] Moeljatno, Op CitHal. 171
[50] Sudarto, Op. Cit., Hal. 90
[51] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana,
[52] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Loc.Cit., hlm.3
[53] Loc. Cit, hlm 42
[54] Ibid, hlm 41
[55] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Dengan Pidana Penjara, Op. Cit, hlm 18
[56] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm 4
[57] Ibid, hlm 24 - 25
[58] Ibid, hlm 25
[59] Ibid, hlm 21
[60] Ibid, hlm 25 - 26
[61] Ibid, hlm 26
[62] Ibid, hlm 27
[63] Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, 1998, hlm 157
[64] Teguh Prasetyo, Politik Hukum Pidana, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2005, hlm. 108
[65] ibid
[66] ibid
[67] Muladi, Op.Cit, hlm 161
[68] Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm 53
[69] Ibid, hlm 53-54
[70] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm 32
[71] Ibid
[72] Ibid, hlm 33
[73] Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm 43-44
[74] Teguh Prasetyo, Ibid, hlm 48
[75] Teguh Prasetyo, Ibid, hlm. 49
[76] Sudarto, Hukum Pidana I, Loc. Cit.
[77] Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm.39
[78] Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hlm.33
[79] Soedarto, Op.Cit, hlm.89
[80] Martiman, Prodjohamidjojo, Op.Cit, hlm.34
[81] ibid
[82] Ibid
[83] Sudarto, Op.Cit, hlm 90-91
[84] Ibid, hlm. 87 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar